Senin, 27 Desember 2010

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjat kan kepada Allah swt yang telah memberikan rahmat dan karunianya kepada kami semua sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Perkawinan Antar Orang Berlainan Agama” ini dengan baik meskipun masih banyak terdapat kesalah di sana sini.
Dan juga pemakalag tak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada dosen pembimbing yang telah membantu pemakalah dalam pembuatan makalah kami ini.
selanjut nya pemalah juga mengucapkan terima kasih kepada teman teman yang telah membantu pemakalah atas terselesaikannya makalah kami ini. Tanpa dukungan bantuan seta materi demi kelancaran dan terselesaikannya malkalah ini.
Kami sebagai pemakalah juga tak luput dari khilaf dan salah untuk itu kami juga memohon keritik dan saran nya yang bersifat membangun.

Bangko, 27 Desember 2010
PENULIS

(KELOMPOK 1 )




BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat sebagai penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita dalam membentuk suatu keluarga atau rumah tangga.
Dalam membentuk suatu keluarga tentunya memerlukan suatu komitmen yang kuat diantara pasangan tersebut. Sehingga dalam hal ini Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974 pada pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa suatu perkawinan dapat dinyatakan sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan pasangan yang melakukan pernikahan.
Landasan hukum agama dalam melaksanakan sebuah perkawinan merupakan hal yang sangat penting dalam UU No. 1 Tahun 1974, sehingga penentuan boleh tidaknya perkawinan tergantung pada ketentuan agama. Hal ini berarti juga bahwa hukum agama menyatakan perkawinan tidak boleh, maka tidak boleh pula menurut hukum negara. Jadi dalam perkawinan berbeda agama yang menjadi boleh tidaknya tergantung pada ketentuan agama.

B. RUMUSAN MASALAH
Di dalam makalah ini pemakalah membatasi pembahasan dalam makalah ini yaitu dengan pertanyaan pertanyaan sebagai berikut :
1. bagaimanakah hukum perkawinan antar orag yang berlianan agama menurut hukum positif di indonesia?
2. bagaimanakah hukum perkawinan antar orag yang berlianan agama menurut hukum islam?

C. TUJUAN
Dengan terselesaikannya makalah yang berjudul “Perkawinan antar orang berbeda agama” ini adalah untuk memberikan wawasan pengetahuan kepada mahasiswa dan mahasiswi tentang bagaimanakah hukum perkawinan antar orag yang berlianan agama menurut hukum positif di indonesia dan menurut hukum islam..
Dan selain dari pada itu atas terselesaikannya makalah yang ber judul “Perkawinan antar orang berbeda agama” kami juga bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliyah masail al fiqiah


BAB II
PEMBAHASAN
{ PERKAWINAN ANTAR ORANG BERBEDA AGAMA }
A. PENGERTIAN PERKAWINAN
Menurut pasal 1 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan di dalam ketentuan pasal-pasal KUHPerdata, tidak memberikan pengertian perkawinan itu. Oleh karena itu untuk memahami arti perkawinan dapat dilihat pada ilmu pengetahuan atau pendapat para sarjana. Ali Afandi mengatakan bahwa “perkawinan adalah suatu persetujuan kekeluargaan”.1 Dan menurut Scholten perkawinan adalah ”hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh negara”.2
Jadi Kitab Undang-undang Hukum Perdata memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.3 Hal ini berarti bahwa undang-undang hanya mengakui perkawinan perdata sebagai perkawinan yang sah, berarti perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sedang syarat-syarat serta
peraturan agama tidak diperhatikan atau dikesampingkan. Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Jadi perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk membentuk suatu keluarga yang kekal. Sedangkan yang dimaksud dengan Hukum Perkawinan adalah hukum yang mengatur mengenai syarat-syarat dan caranya melangsungkan perkawinan, beserta akibat-akibat hukum bagi pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut.
B. PERKAWINAN ANTAR ORANG YANG BERLIANAN AGAMA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ada beberapa peraturan, diantaranya adalah :
1. Buku I Kitab Undang-undang Hukum Perdata
2. UU No. 1/1974 tentang Perkawinan
3. UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama
4.PP No. 9/1975 tentang Peraturan Pelaksana UU No. 1/1974
5. Intruksi Presiden No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia
Dalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan antar pemeluk agama dalam bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 point c dinyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Kemudian dalam pasal 44 dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
KHI tersebut selaras dengan pendapat Prof. Dr. Hazairin S.H., yang menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya.
Mahkamah Agung dalam memberikan solusi hukum bagi perkawinan antar agama adalah bahwa perkawinan antar agama dapat diterima permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan permohonan yang kedua calon suami isteri tidak beragama Islam untuk wajib menerima permohonan perkawinan antar agama alam KHI telah dinyatakan dengan jelas bahwa perkawinan beda agama jelas tidak dapat dilaksanakan selain kedua calon suami isteri beragama Islam. Sehingga tidak ada peluang bagi orang-orang yang memeluk agama Islam untuk melaksanakan perkawinan antar agama.
Kenyataan yang terjadi dalam sistem hukum Indonesia, perkawinan antar agama dapat terjadi. Hal ini disebabkan peraturan perundang- undangan tentang perkawinan memberikan peluang tersebut terjadi, karena dalam peraturan tersebut dapat memberikan beberapa penafsiran bila terjadi perkawinan antar agama.
Berdasarkan UU No. 1/1974 pasal 66, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Secara a contrario, dapat diartikan bahwa beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1/1974.
Mengenai perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan calon suami isteri dapat dilihat dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan pada pasal 2 ayat 1, bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pada pasal 10 PP No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan
kepercayaannya.
Dalam memahami perkawinan beda agama menurut undang-undang Perkawinan ada tiga penafsiaran yang berbeda.Pertama, penafsiran yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f. Pendapatkedua, bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama. Pendapatketiga bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan
Prof. HM Rasjidi, menteri agama pertama RI, dalam artikelnya di Harian Abadi edisi 20 Agustus 1973, menyorot secara tajam RUU Perkawinan yang dalam pasal 10 ayat (2) disebutkan: “Perbedaan karena kebangsaan, suku, bangsa, negara asal, tempat asal, agama, kepercayaan dan keturunan, tidak merupakan penghalang perkawinan.
Pasal dalam RUU tersebut jelas ingin mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pasal 16 yang menyatakan: “Lelaki dan wanita yang sudah dewasa, tanpa sesuatu pembatasan karena suku, kebangsaan dan agama, mempunyai hak untuk kawin dan membentuk satu keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dengan hubungan dengan perkawinan, selama dalam perkawinan dan dalam soal perceraian.”
khusus tentang pasal 16 tersebut, Hamka menulis kesimpulan yang sangat tajam: “Oleh sebab itu dianggap kafir, fasiq, dan zalim, orang-orang Islam yang meninggalkan hukum syariat Islam yang jelas nyata itu. lalu pindah bergantung kepada “Hak-hak Asasi Manusia” yang disahkan di Muktamar San Francisco, oleh sebagian anggota yang membuat “Hak-hak Asasi” sendiri karena jaminan itu tidak ada dalam agama yang mereka peluk.


C. PERKAWINAN ANTAR ORANG YANG BERLIANAN AGAMA MENURUT HUKUM ISLAM
Masalah pernikahan berbeda keyakinan ini sebenarnya terbagi dalam 2 kasus keadaan, antara lain:
Kasus 1: Pernikahan antara laki-laki non-muslim dengan wanita muslim
Kasus 2: Pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita non-muslim
Pada kasus 1 kedua pihak ulama sepakat untuk mengharamkan pernikahan yang terjadi pada keadaan seperti itu, seorang wanita muslim haram hukumnya dan pernikahannya tidak sah bila menikah dengan laki-laki non-muslim Al-Quran menjelaskan Dalam surat Al-Baqarah 221 :

Artinya : Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (Surat Al-Baqarah Ayat 221)
Di dalam ayat tersebit seorang mukmin di larang meikahi wanita musrik sekalipun iti menggoda hati kita. Kecuali mereka beriman kepada Allah swt. Dan allah juga menjelaskan bahwa lebih mulia menikahi seorang buda dari pada seorang musrik karena orang musyrik akan membawa kita keneraka.
sedang pada kasus ke-2. Seorang laki-laki muslim dilarang menikah dengan wanita non-muslim kecuali wanita ahli kitab, seperti yang disebutkan dalam surat Al-Maidah ayat 5 :

Artinya : Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.(Al-Maaidah Ayat 5)
Pada surat Al-Baqarah ayat 221 terang di jelaskan bahwa :Baik laki-laki ataupun perempuan memiliki larangan untuk menikahi atau dinikahkan oleh seorang musyrik.. dan dalam surat Al-Maidah di jelaskan kembali bagi seorang laki-laki ,boleh menikahi AHLI KITAB. Namun terdapat beberapa pendapat bahwa ahli kitab di sini bukanlah penganut injil,ataupun taurat yang ada pada saat ini.Ahli kitab yang dimaksudkan disini ialah mereka yang bersyahadat Mengakui adanya ALLAH akan tetapi tidak mengakui adanya Muhamad saw.




BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Larangan perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda itu agaknya dilatarbelakangi oleh harapan akan lahirnya sakinah dalam keluarga. Bagaimana mendidik anak-anak mereka.karena pada dasarnya seorang anak akan kebingungan untuk mengikuti ayahnya atau ibunya.Perkawinan baru akan langgeng dan tenteram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antar suami dan istri, karena jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya, atau bahkan perbedaan tingkat pendidikan antara suami dan istri pun tidak jarang mengakibatkan kegagalan perkawinan.

B. SARAN
Pemakalah mngucapkan terima kasih kepada para pembaca yang telah membaca dan mempelajari makalah ini. Mungkin dsalam pembuatan makalah ini terdapat banyak sekali kesalah untuk itu, kami sebagai pemakalah mohon maaf yang sebesar besarnya. Dan tak lupa pula pemakalah akan menerima keritik dan saran pembaca demi kesempurnaan makalah ini di masa mendatang.

DAFTAR PUSTAKA

• Riyanto, Yatim, M.Pd.,Drs.,Dr. 2001. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surabaya:Penerbit SIC.
• Narbuko, cholid. Drs, Metodologi Penelitian Pendidikan. Surabaya:Penerbit Bumi Aksara.
• Achmadi, abu H.. Drs, Metodologi Penelitian Pendidikan. Surabaya:Penerbit Bumi Aksara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar